Kemarin malam saya nonton acara Audisi American Idol. Geli, gemes dan sebel. Geli jika melihat para kontestan yang hanya bermodalkan nekat tanpa ngeliat kemampuan. Tapi juga salut melihat kepercayaan diri mereka untuk tampil dan berharap akan menjadi Idol berikutnya, sehingga mereka berani malu untuk tampil, bahkan untuk mengalihkan perhatian juri (Mungkin) mereka tampil habis – habisan, baik gaya, maupun penampilan. Gemes melihat para juri yang kadang – kadang kok ya tidak manusiawi banget memberikan komentarnya, padahal mungkin ada sebagian dari mereka yang sudah mati – matian berusaha tampil sebaik mungkin. sebab ternyata sebagian juga tampil bukan karena kemauan mereka, tapi karena kemauan orang – orang disekitar mereka (Ortu, sodara or teman) yang menginginkan mereka menjadi orang terkenal. Sebel, karena lagi seru – serunya eh… acaranya terpotong iklan.
Memposisikan sebagai Juri, saya jadi teringat pengalaman minggu kemarin ketika selama tiga hari menjadi Juri. Bukan acara Idol, tapi juri praktek kesenian. Dan ini adalah pengalaman pertama saya, dimana saya harus memberikan nilai untuk kurang lebih 120 anak, yang mau atau tidak mau harus tampil, suka atau tidak suka harus unjuk kebolehan menyanyi. Kenapa harus menyanyi..? sebab itu syarat ujian prakteknya(ini kata guru seninya, padahal sih kalau menurut saya, yang namanya seni bukan cuma menyanyi saja).
Tiga hari berturut – turut dimana dalam setiap sesi ada 20 anak, dengan segala macam lagu pilihan mereka yang sebagian besarnya saya belum pernah dengar. ada yang lembut syahdu mendayu – dayu, ada yang bahkan saya tidak tahu apa yang mereka ucapkan. Ada yang bergaya sama persis dengan penyanyi aslinya, ada juga yang hanya sekedar menyanyi. untuk yang terakhir bahkan ada yang agak berurai air mata. bukan karena lagunya sedih, tapi karena mereka, jujur aja, jika masih ada pilihan lain, mereka akan milih lari muterin lapangan sepak bola 10 kali daripada tampil menyanyi di depan umum. Nilai mereka bervariasi, ada yang bagus, ada juga yang cuma pas – pasan. Namun jujur aja, saya bingung ketika harus memberikan nilai untuk mereka yang sudah mengerahkan segalanya untuk tampil. Melihat mereka menyanyi saja (meskipun gak ada bagus – bagusnya) sudah cukup suprise. tapi saya harus Profesional dong… saya menilai berdasarkan rasa ketika saya mendengar mereka bernyayi. sambil membayangkan saya adalah Paula Abdul yang sedang mengaudisi ribuan calon Idol dan harus memilih satu diantara yang terbaik. Bagaimana rasanya ya…?? dan pastinya mereka harus beanar – benar prof. rasanya saya dapat mengerti mengapa mereka kadang harus tega… sebab mereka mencari yang terbaik.
Jika murid – murid saya menyanyi untuk mendapatkan nilai, (Bagus atau buruk), mereka menyanyi, bahkan rela antri menunggu berjam – jam – jam yang ujung – ujungnya dikomentari dengan pedas oleh para juri adalah untuk bagaimana dapat menjadi terkenal, dan syukur – syukur kalau bisa kaya dengan cara instan. bagaimana tidak, begitu mereka terpilih maka mereka akan selalu diekspos, sehingga mungkin hanya dalam hitungan minggu saja wajah mereka akan segera akrab di benak setiap orang, meskipun kadang – kadang hanya sekejap.
lihat saja, khususnya di Indonesia, entah ada berapa puluh acara yang temanya adalah bagaimana menjadi terkenal. bagaimana menjadi Idol. mereka yang terpilih biasanya tampil sesaat, terkenal lalu terlupakan, sebab sudah ada Idol berikutnya…. Tapi sebagaian juga mungkin berfikir, Tak masalah hanya sesaat, yang penting pernah jadi Seleb…. daripada lo cuma ngomong doang… nah lho….